Saturday, August 15, 2015

Cahaya

“Gelap”, “Di sini sangat gelap”, “Aku takut”, “Siapapun tolong aku”. Keempat kalimat ini selalu berdengung di kepalaku, saat ini. Aku berlari menyusuri lorong kecil yang sangat gelap, tidak ada pencahayaan dimanapun, tidak ada siapapun di sini. Suara yang bisa kudengar saat ini hanyalah suara langkah kakiku yang bergema di sepanjang lorong ini dan suara dengusan nafas ketakutan.
Aku melihat sekelilingku tanpa memperlambat lariku. Di sekitarku hanya terdapat 2 dinding besar yang berwarna hitam yang membentuk lorong kecil. Tidak ada pintu atau lorong lain atau rumah. Tidak ada jalan lain yang dapat menyelamatkanku dari ketakutan ini selain jalan kecil yang berada di depanku. Aku tidak bisa berbalik, tidak bisa sama sekali.
Aku terus berlari, tidak ingin berhenti, tidak ingin menyia-nyiakan sedetikpun untuk berhenti. “Aku harus terus berlari”, pikirku. Aku harus melepaskan diri dari segala ketakutanku yang sudah menumpuk setinggi gunung di dalam pikiranku. Saat itulah kakiku tersentak sesuatu yang cukup berat.
“Aduh”, teriakku dengan suara yang tidak terlalu pelan. Aku melihat kakiku yang ditutupi oleh celana panjang berwarna hitam dan kaos kaki berwarna putih. Aku menggulung celanaku untuk melihat keadaan kakiku, karena aku merasakan sakit pada lutut. Ternyata lututku tergores sedikit, mengeluarkan cairan sedikit berwarna merah.
Kakiku sakit, aku tidak mampu untuk berlari lagi, untuk berjalan saja sepertinya aku membutuhkan tongkat. Dalam kondisi yang tertekan ini, aku menangis. Mataku akhirnya meneteskan air yang jarang sekali aku keluarkan, mengalir menuruni wajah yang akhirnya membasahi pipiku dan terjatuh tetes demi setetes ke bawah.
“Kakiku sangat sakit”, “Siapapun tolong aku”, “Aku tidak mampu berlari lagi”. Kali ini tiga kalimat itu yang berdengung keras di kepalaku. Beberapa menit setelah aku menangis dan terjatuh, aku mendengar satu suara. Langkah kaki. Langkah kaki itu sangat berat dan terasa sangat cepat. Kelihatannya dalam beberapa menit, langkah kaki itu akan bertemu denganku.
Aku semakin takut, kini ketakutanku semakin menumpuk. “Aku harus lolos”, pikirku. Segera aku mempercepat langkahku, walaupun aku merasakan sakit yang luar biasa. Setiap aku melangkahkan kakiku, aku mempercepat langkahku. Hingga, kini aku berlari, berharap menemukan cahaya di ujung lorong ini.
Dalam beberapa puluh langkah, terlihat cahaya dari jauh. Aku menangis. “Akhirnya aku dapat lolos dari teror ini”, pikirku. Namun, ternyata aku salah besar, karena cahaya yang aku lihat, bukanlah cahaya yang menunjukan jalan keluar. Bukanlah cahaya yang dapat menyelamatkanku dari ketakukanku yang sudah menumpuk, tetapi cahaya itu hanyalah cahaya yang menambah ketakutanku kian membesar.
                                                                     ***                        
Di sini, yap di sini, aku mendengar berbagai suara. Suara yang begitu banyak. Suara yang menandakan kebahagiaan, kehangatan, kebersamaan. Begitu juga dengan perasaanku saat ini, diliputi dengan kebahagiaan, kehangatan, dan kebersamaan. Bersama teman-temanku, sahabat yang selalu menemani dari aku kecil hingga aku besar saat ini. 4 orang yang tidak akan pernah menyakiti satu sama lain, tidak akan pernah.
Kini aku sedang berada di suatu pusat perbelanjaan yang cukup megah namun tidak terlalu besar, bersama 4 orang temanku, tidak, tetapi sahabatku, menjalankan rutinitas yang seharusnya memang dijalankan saat seseorang bertambah umurnya. Aku dan sahabat-sahabatku sedang berjalan-jalan di mall untuk merayakan ulang tahun salah satu sahabatku, yaitu Setya.
Setya adalah seorang laki-laki yang cukup dewasa dan tinggi. Secara umum dia tidak terlalu pintar, namun sangat berbakat dalam pelajaran sejarah. Dia seperti ensiklopedia berjalan, tahu segala hal tentang masa lalu. Selain pintar, dia adalah pria yang cukup baik, walaupun terkadang emosinya sering tidak stabil. “Lihat deh, itu kan cocok banget  buat kamu”, sambil menunjuk sepatu hak tinggi. “Kenapa cocoknya buat aku ?”, ucap seorang perempuan dengan suara yang cukup rendah.
“Kamu kan pendek, ma”, ejek Setya. “Ih, apaan sih”. Rama memukul-mukul Setya. Rama adalah salah seorang perempuan yang cukup tinggi dan memakai kerudung yang tidak terlalu panjang. Dia tidak terlalu istimewa, dia juga tidak terlalu pandai dalam berbagai bidang, namun dia sangat baik. Salah satu perempuan terbaik yang pernah aku temui.
“Cie Rama mukul-mukul Setya”. Kalimat ini diucapkan oleh salah seorang laki-laki yang sangat menyebalkan, menurutku. Dia selalu menghubung-hubungkan dua hal yang tidak jelas. Putra. Seorang laki-laki yang cukup ramah, tetapi menyebalkan dan humoris. Walaupun dia sedikit tidak jelas, sifat humorisnya dapat menutupi sifatnya yang tidak jelas tersebut.
“Apa sih, Putra mulai lagi deh”. Teriak Annisa. Seorang perempuan yang cukup tinggi dan memiliki rambut panjang. Apabila Annisa sudah mengeluarkan katanya sedikit saja, maka dia akan mengomentari segala hal yang dia lihat. Terkadang komentarnya itu dapat membuat kami semua tertawa, namun terkadang juga sangat tidak penting. Apabila Annisa mulai berbicara, maka kami semua berusaha untuk membuat dia terdiam.
“Eh, Azhar, jangan diem terus dong”. Azhar. Itulah namaku. Seorang pria yang tidak terlalu pendek dan tidak terlalu tinggi. Seorang laki-laki yang sangat pendiam, namun sangat kritis. Apabila sebuah kalimat mulai meluncur dari mulutnya, maka akan terjadi debat yang sangat panjang apabila ada seseorang yang membatahnya.
Yap, disinilah aku sekarang. Di sebuah lingkungan yang tentunya sangat menyenangkan. Selama seharian ini kami berjalan-jalan di mall, menonton film layar lebar, berbelanja, makan bersama. Sungguh sangat bahagia, dikelilingi oleh sahabat-sahabat yang saling menyayangi satu sama lain. Namun, mungkin kebahagiaan ini tidak akan berlanjut.
Kebahagiaan yang bisa kudapat bersama 4 orang sahabatku ini terhenti pada hari ini. Terhenti oleh suatu kejadian yang telah mengejutkan kami semua. 2 hari kemudian, Annisa ditemukan tidak bernyawa di kamarnya. Semua orang terlihat sedang bersedih. Wajar, karena baru 2 hari yang lalu kita semua berjalan-jalan bersama.
Namun, ada 1 hal yang aku lupakan. Kami semua pergi ke luar kota untuk merayakan ulang tahun Setya. Kami menyewa beberapa kamar di sebuah hotel yang memakai kode untuk masuk ke setiap kamarnya. Semua kode kamar yang digunakan oleh kami sama, karena siapa tahu ada salah seorang yang lupa kode kamarnya.
Dari semua kalimat yang aku pikirkan saat ini, ada 1 kesimpulan yang menggantung di kepalaku saat ini. 1 kalimat yang membuat pikiranku buyar dan berharap bahwa aku salah. Namun, setelah aku berpikir ulang, ternyata pikiranku benar. Bahwa, pelakunya terdapat di antara kami. Sahabatku lah yang telah membunuh Annisa.

1 MINGGU KEMUDIAN

Kini kami semua sudah pulang ke kota asal kami, sebuah kota yang cukup besar, walaupun tidak sebesar ibukota dan cukup sejuk, tidak terlalu panas. Semenjak kami pulang ke kota kami, kami selalu dimintai keterangan oleh polisi. Kami masih selalu bertemu dan mengobrol tentang kesibukan kami, membicarakan berbagai macam hal di kantor polisi, karena berkunjung ke kantor polisi menghabiskan waktu yang cukup banyak.
“Sudah 1 minggu, namun polisi tidak menunjukkan kemajuan apapun. Mungkin aku harus memulai penyelidikan sekarang. Walaupun aku cukup suka dengan detektif, namun aku tidak bisa sendiri menangani hal ini. Apakah aku harus mengajak mereka ?”, pikirku. Mungkin aku memang harus memulainya bersama yang lain. Para polisi itu tidak bisa diandalkan.
“Eh, temen-temen. Gimana kalau kita nangkep pelakunya sendiri aja ?”, ujarku. “Nangkep sendiri ? Boleh tuh”, teriak Rama. “Kamu sering baca novel detektif kan ? Kamu pasti sering baca kasus-kasus pembunuhan, terus Setya sering baca artikel tentang anatomi tubuh, pasti bisa bantu-bantu. Putra ayahnya polisi kan ? Kamu bisa minta ke ayah kamu buat minta foto-foto tempat kejadian pembunuhan”, ucap rama dengan nada yang tinggi dan sangat cepat.
“Ma, kenapa kamu semangat banget ?”, tanya Setya. “Iya, kan soalnya aku sama Annisa udah sahabatan sejak kecil, jadi aku pengen banget nangkep pelakunya”. “Ya udah, kalau gitu mulai sekarang kita semua bakalan nangkep pelaku yang udah ngebunuh Annisa. Sekarang, Setya terus baca tentang anatomi tubuh, aku sama Rama bakalan nyari info-info tentang kasus pembunuhan Annisa, Putra minta foto-foto kejadian ke ayah kamu. Besok kita kumpul lagi di sini jam 10. Setuju ?”, kataku dengan nada yang bersemangat. “SETUJU!!!”.
Keesokan harinya, tepat jam 10 kami semua sudah berkumpul di kantor polisi. Memang kami datang setiap hari ke kantor polisi jam 10 untuk memenuhi keinginan polisi yang tidak jelas, namun berhubung masih libur kerja, kami menanggapinya dengan biasa saja. Setelah kami semua berkumpul, kami memulai pembicaraan kami dengan apa saja yang sudah kami lakukan kemarin.
“Jadi, aku tuh udah nyari-nyari info tentang kasus Annisa. Ternyata, Annisa itu nggak terlalu disukain di lingkungannya. Menurut orang lain, Annisa itu orangnya agak nyebelin dan perkataannya itu suka nyakitin perasaan orang lain juga”, jelas Rama. “Mungkin ini jadi motif pembunuhnya”, sahut Putra. “Aku udah bawa file tentang kasus ini”, katanya. “Wah, bangus banget tuh, pengen liat dong”, kata Setya.
Putra mengeluarkan amplop besar berwarna coklat dari tasnya yang berwarna hitam dan tidak terlalu besar. Semua informasi tentang kasus Annisa terdapat di dalam amplop tersebut, namun tidak lengkap. Informasi yang berhasil didapat oleh polisi hanyalah senjata pembunuh serta foto tempat terjadinya pembunuhan. “Polisi sebenernya ngapain aja sih ?”, pikirku.
Aku melihat foto dari senjatanya. Annisa dibunuh dengan menggunakan kapak yang biasa dipakai untuk menebang pohon. Kapak tersebut berwarna merah dengan gagang berwarna coklat muda dan tidak terlalu besar. Kapak ini ditemukan di tempat sampah di belakang hotel tempat kami menginap. Di kapak tidak terdapat sidik jari siapapun, pelaku menggunakan sarung tangan atau semacamnya agar sidik jarinya tidak terdapat di kapak tersebut. “Pintar juga”, pikirku.
Terdapat beberapa foto yang menunjukkan tempat terjadinya pembunuhan. Foto pertama menunjukkan keadaan tempat perkara secara keseluruhan. Di dalam foto tersebut menunjukkan kamar Annisa yang cukup berantakan, serta tubuh Annisa yang terlentang di dekat tempat tidur. Foto kedua menunjukkan keadaan tubuh Annisa, ternyata ada goresan di punggung Annisa. Ini berarti Annisa diserang dari belakang dengan menggunakan kapak. Sedangkan foto yang lain menunjukkan selak beluk kamar Annisa.
“Hmm…”, kami berpikir dengan keras. “Aduh, nggak tahu nih, aku kayaknya nggak dapet apa-apa deh”, teriak Rama. “Yang aku dapetin cuma kalau pelakunya itu make sarung tangan”, ucap Setya. “Hah, tahu dari mana ?”, teriak Rama. “Kan, di kapaknya nggak ada sidik jari”, jelas Setya. “Oh, iya, ya. Kalau Azhar gimana ?”, tanya Rama.
“Pertama yang aku dapetin pelakunya nggak kidal”. “Hah, tahu dari mana ?”, semua bertanya dengan penasaran. “Lihat bekas goresan di punggung Annisa. Bekas goresan tersebut seperti garis miring terbalik. Garis tersebut dimulai dari bagian kanan atas berlanjut hingga kiri bawah. Orang yang tidak kidal akan memegang kapak dengan tangan kanan di atas dan tangan kiri di bawah dan memegang kapak dengan condong ke sebelah kanan”.
“Bener juga ya”, sela Rama. “Maka, saat pelaku mengayunkan kapaknya ke punggung Annisa, bekas goresan seperti ini yang tertinggal”. “Terus apa lagi yang kamu dapet ?”, tanya Putra. “Di kepalanya ada darah yang keluar, berarti Annisa dipukul oleh suatu benda beberapa kali. Bisa kita lihat kamarnya benar-benar berantakan, namun kita tahu kan kalau Annisa itu sangat rapih dan bersih, lalu mengapa kamarnya berantakan ?”. Semua terdiam.
“Ada beberapa barang Annisa yang hilang. Barang-barang berharga, seperti perhiasan dan surat-surat penting”. “Berarti modus pembunuhan ini pencurian ?”, sela Setya. “Mungkin, tapi kenapa dia harus ngebunuh Annisa ?”. “Ya, mungkin dia nggak ada cara lain lagi buat ngebungkam Annisa ?”, kata Rama. “Seperti yang kita tahu, Annisa itu hanya seorang wanita. Cukup dengan pukulan di kepala atau obat bius, itu bisa menenangkannya, tidak perlu memakai kapak segala”.
“Hmm, masuk akal juga”, pikir Putra. “Barang-barang Annisa hilang hanya untuk mengalihkan perhatian dari pembunuhan menjadi pencurian. Sebenernya tujuan utama dari pelaku adalah untuk membunuh Annisa. Pencurian hanya untuk memusingkan para polisi, untuk membuat kita semua berpikir bahwa ada kemungkinan pelakunya adalah orang luar, bukan orang-orang yang berkaitan dengan Annisa. Buktinya, untuk apa dia memukul kepala Annisa berkali-kali ?”, semuanya menggeleng.
“Untuk memastikan Annisa mati. Kemungkinan kronologinya adalah pelaku masuk ke kamar Annisa, entah dengan cara apa. Lalu, mengayunkan kapak ke punggung Annisa hingga menancap di punggungnya. Pelaku mencari barang-barang berharga. Saat akan keluar dari kamar Annisa, dia menyadari bahwa Annisa masih hidup, mungkin dia melihat kepalanya masih bergerak. Lalu, dia menggunakan suatu benda dan memukulkannya berkali-kali ke kepala Annisa untuk memastikan bahwa dia telah mati”.
            “Wow, semua yang kamu katain itu masuk akal Azhar, keren banget”, puji Rama. “Tapi kamu udah dapet bayangan tentang pelakunya belum ?”, tanya Putra. “Belum, sama sekali belum”, kataku. Sebenarnya aku sudah mengetahui bahwa pelakunya ada di antara teman-temanku, namun kini aku belum bisa bilang sekarang, karena itu sama saja membahayakan nyawaku.
            “Oh, ya. Putra, kalau polisi udah dapet gambaran tersangka belum ?”, tanya Rama. Putra hanya terdiam. “Kenapa, put ? Bilang aja tersangkanya siapa”, kata Setya. Tiba-tiba dia melihat jam tangannya yang berwarna perak mengkilat yang dilingkarkan di pergelangan tangan kirinya. “Oh, udah jam segini nih. Aku pergi dulu ya”, dia langsung membawa tasnya dan melangkahkan kaki keluar dari kantor polisi sebelum kami mengatakan selamat tinggal.
            “Putra kenapa ya ?”, tanya Rama. “Entahlah, mungkin penyakitnya kambuh lagi. Ya udah lah, mendingan kita pulang aja yu. Nggak ada gunanya kita di sini terus, Udah 1 jam kita di luar sini, tapi nggak ada polisi yang manggil kita. Kayaknya polisinya lagi sibuk banget”. “Iya, ya udah kita pulang aja”. Aku, Setya, dan Rama langsung berjalan ke luar dari kantor polisi.
            Selama perjalanan pulang, aku hanya memikirkan 2 hal. Pertama, kejanggalan di tempat kejadian pembunuhan. Semua yang sudah kulihat di foto dan file yang dibawa oleh Putra, namun aku hanya menemukan jalan buntu. Sepertinya ada 1 barang bukti yang sangat penting yang tidak dilihat oleh polisi. Kedua, kelakuan aneh Putra. Kelihatannya, Putra sudah mengetahui bahwa pelakunya ada di antara kita.
Tapi, mungkin saja bisa bahwa penyakitnya yang tidak jelas kambuh. Namun, pilihan ini aku hilangkan. Karena, ekspresi yang ditunjukkan oleh Putra saat Rama bertanya tentang tersangka adalah ekspresi yang serius, bukan ekspresi yang biasanya ditunjukkan olehnya. Saat ini, tepat saat aku hanya berjarak beberapa meter dari kantor polisi, aku akan bekerja sama dengan Putra untuk mencari pelakunya.
Walaupun tidak ada kemungkinan bahwa Putra bukan pelakunya, namun kecurigaanku terhadap Putra sangat kecil, karena sikap dia yang ditujunkan selama ini. Dia sangat semangat dibandingkan dengan yang lain, terlihat dari matanya yang berbinar-binar dan rasa kesal saat mengetahui bahwa Annisa telah dibunuh. Kini, aku akan berjalan menuju rumah Putra, bernegosiasi dengannya.
Rumah Putra tidak berjarak terlalu jauh dari kantor polisi ini, dapat ditempuh dengan berjalan kaki selama 15 menit. Setelah berjalan sekitar 15 menit, aku sampai di depan rumah Putra. Sebuah rumah yang cukup besar dan megah, memiliki taman yang cukup hijau di depannya, dan memiliki 2 lantai. Aku berjalan melewati gerbang putih yang tidak dikunci menuju sebuah pintu yang tidak terlalu besar berwarna putih.
Aku menekan tombol di sebelah pintu tersebut. Setelah beberapa saat sebuah musik terdengar, seseorang membukakan pintu. Seorang laki-laki yang kukenal, yaitu Putra. Dia melihatku dengan ekspresi yang cukup kesal. Sebelum aku mengeluarkan kata sedikitpun, dia berusaha untuk menutup pintu, namun aku menahannya dengan tanganku. “Tunggu, put. Aku bisa jelasin semuanya. Semuanya berkaitan dengan Annisa”, aku berteriak.
Putra berhenti. Setelah beberapa saat, dia mempersilahkanku masuk. “Untunglah”, pikirku. Aku dan Putra berjalan melewati lorong kecil yang tidak terlalu panjang menuju sebuah ruangan yang cukup besar yang berisi dengan beberapa sofa dan 1 meja yang cukup besar di tengah ruangan tersebut. Aku dan putra duduk di sofa bagian tengah.
“Sebenernya apa yang mau kamu omongin ?”, tanya Putra. “Aku udah tahu”. “Tahu apa ?”. “Tentang kamu”. “Yang mana ?”. “Bahwa kamu udah tahu kalau pelakunya ada di antara kita”. Putra terdiam. “Kamu menyadari bahwa kunci menuju kamar Annisa memakai password dimana semua orang dari kelompok kita tahu passwordnya. Hal itu lah yang membuatmu menyadari bahwa pelakunya ada di antara kita”.
Putra tetap terdiam. “Aku tahu, mungkin kamu masih curiga bahwa aku pelakunya. Itu wajar. Karena, sekarang aku juga mencurigaimu sebagai pelaku, namun kau berada di prioritas terkecil. Prioritas terbesarku saat ini adalah…”. “Setya”, Putra menyela. “Setya merupakan prioritas terbesar sebagai pelaku dan kau Azhar, berada di prioritas terkecil. Itulah yang berada di pikiranku”. Aku terdiam. Lalu, aku dan Putra tertawa bersama.
“Berarti kau ingin sekali ini saja mempercayaiku dan bekerja sama untuk mencari pelaku pembunuh Annisa ?”, tanyaku. “Tentu saja”, jawab Putra sambil terenyum. “Namun, mengapa kau tidak mencurigaiku sebagai pembunuh ?”. “Ini terlihat dari awal sekali sejak Annisa terbunuh. Kau sangat semangat dalam mencari pembunuh Annisa, tindakan-tindakanmu itu bukan tindakan yang berpura-pura, tetapi balas dendam karena sahabatnya telah terbunuh”.
Aku tersenyum. “Baiklah, kesimpulan saat ini bahwa kemungkinan terbesar pembunuhnya adalah Setya masih belum pasti benar. Karena, aku memilih Setya sebagai kemungkinan terbesar sebagai pembunuh, hanya karena Rama adalah sahabat dekat dari Annisa, bukan berdasarkan bukti atau apapun”, jelasku kepada Putra. Putra mengangguk, tanda dia setuju.
“Aku yakin, bahwa ada satu petunjuk yang hilang dari kasus ini. Dan cara untuk memastikannya adalah dengan pergi langsung ke tempat kejadian”. “Pergi ? Maksudmu ke Yogya ?”. “Iya, mengapa ? Kau tidak ingin pergi ?”. “Tentu saja aku ingin pergi”. “Namun, kini aku butuh bantuanmu”. “Bantuan apa ?”. “Kita sebagai orang awam, tentu tidak bisa masuk ke tempat kejadian pembunuhan begitu saja. Kita harus memiliki izin”. “Oh, tenang saja. Untuk masalah izin, aku sudah mengurus ke ayahku sejak awal. Kita di kasus ini termasuk sebagai saksi. Kita semua bisa masuk ke tempat kejadian perkara semau kita”.
“Oh, kalau begitu baguslah. Malam ini kita pergi. Aku sudah memesankan tempat di kereta malam ini”. “Baguslah kalau begitu”. Kita tersenyum dan bersiap-siap untuk keberangkatan nanti malam. 3 jam kemudian, kami berangkat. Menuju tempat kejadian, dengan menggunakan kendaraan yang cukup cepat.
Keesokan harinya, aku dan Putra sampai di sebuah stasiun kereta di Yogyakarta. Sesampainya di sana, kami langsung mencari tempat untuk beristirahat selama sehari. Kami memutuskan untuk pergi ke tempat kejadian keesokan harinya. Kami menemukan hotel yang cukup nyaman dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari hotel tempat kejadian. Hotel tempat kami menginap merupakan hotel yang cukup besar dengan ruangan yang cukup mewah dan cukup nyaman untuk beristirahat.
            Keesokan harinya, kami bangun bahkan sebelum matahari terbit untuk bersiap-siap menuju hotel tempat terjadinya pembunuhan Annisa. Kami berangkat lebih awal untuk menghemat waktu, karena mungkin kami akan mencari barang yang hilang tersebut dalam waktu yang lama. Kami menaiki sebuah mobil yang tidak terlalu besar menuju tempat kejadian. Setelah sekitar 15 menit, aku dan Putra sampai di hotel tersebut.
            Hotel tersebut dipenuhi oleh berbagai macam petugas berseragam yang memenuhi halaman depan hotel tersebut. Aku dan Putra berjalan langsung ke dalam hotel, melintasi bagian bawah dari sebuah garis kuning yang mengelilingi seluruh hotel. Kami tidak ditegur oleh sat petugas pun, sepertinya mereka sudah kenal dengan kami, salah satu saksi penting dari kasus ini.
            Kami langsung pergi menuju tempat terjadinya pembunuhan, yaitu di kamar Annisa, yang berada di lantai 6 hotel ini dengan menggunakan lift. Sesampainya pintu lift terbuka, kami disambut dengan lorong yang tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar yang berwarna merah dengan pencahayaan yang tidak terlalu terang. Kami langsung berjalan menuju sebuah kamar yang terletak di dekat ujung lorong ini.
            “Eh, Putra, Azhar, kebetulan banget, ngapain kalian di sini ?”. Aku dan Putra terkaget oleh suara itu. Suara yang tidak terlalu keras dan tidak terlalu lembut muncul dari belakang kami. Suara itu adalah suara dari seorang perempuan yang aku kenal, tidak kami kenal dengan baik. Di belakang kami sudah ada Rama. Bahkan, Setya pun ikut dengannya. Aku dan Putra terkaget.
            “Eh, Rama, Setya, kalian ngapain di sini ?”, tanya Setya. “Emm, kami pengen nemuin…”, aku langsung menyenggol Putra dan memberikan isyarat untuk tidak memberitahukan bahwa kita akan menuju kamar Annisa untuk menemukan barang bukti yang luput dari penglihatan polisi. “Nemuin ? Nemuin apa ? Apa ada hubungannya sama Annisa ?”, tanya Rama, dengan suara yang lebih serius dan muka yang menunjukkan ekspresi penasaran.
            “Nemuin ayah aku. Ayah aku lagi di sini. Azhar nganterin aku ke sini, soalnya kan aku nggak mau sendirian ke sini”, kata Putra. “Oh, gitu, ya”, kata Rama. “Oh, ya, Setya, kamu mau nganterin aku nggak ke toilet yang di lantai 1 ? Aku mau ke bawah sekalian nyari ayah aku di bawah, soalnya kan tadi aku sama Azhar langsung ke atas, nyari-nyari di atas, polisinya sepi. Rama sama Azhar bisa nyari ayah aku dari lantai 6 ke atas, gimana ?”, kata Putra sambil mengedipkan matanya ke arahku.
            Mungkin Putra bermaksud agar aku bersama Rama untuk menanyakan maksud untuk apa mereka berdua pergi ke hotel ini dan Putra bersama Setya untuk menanyakan berbagai macam informasi darinya. Aku mengangguk untuk menjawab kedipannya. Putra dan Setya pun langsung pergi menuju lantai 1. Kini hanya ada aku dan Rama. “Eh, Azhar, kita ke tempat kejadian perkara yu ?”, kata Rama. “Untuk apa ?”. “Aku yakin kalau misalnya ada satu bukti yang hilang, nggak ditemuin sama polisi”.
            “Lho, kamu tahu dari mana ?”. “Yaa, kalau misalnya semua bukti udah kekumpul, harusnya kan polisi udah nemuin pelakunya”. “Iya, sih”. “Ya udah, yu Azhar”. Rama menarik tanganku dan dia berlari menuju kamar Annisa yang letaknya dekat di ujung lorong ini. Aku tertatih-tatih mengikuti langkah Rama, karena dia menarik tanganku. Dalam beberapa menit, aku dan Rama sudah sampai di kamar 616, kamar dimana Annisa terbunuh.
            Di situ tidak ada polisi. Aku bingung, kenapa tidak ada satu polisi pun di situ. “Mungkin, mereka sedang mengurus hal lain”, pikirku. Aku dan Rama langsung masuk ke dalam kamar tersebut. Kondisi kamar masih sama persis dengan yang berada di foto yang kami lihat pertama kali, kecuali mayat Annisa yang sudah tidak ada diganti dengan bentuk manusia yang tergambar di lantai dengan menggunakan kapur putih.
            “Yu, kita cari ke pelosok kamar”. Aku dan Rama langsung mencari ke seluruh pelosok kamar. Tidak lupa kami juga mengenakan sarung tangan, untuk mencegah tertinggalnya sidik jari. Aku tidak fokus selama pencarian, karena aku memikirkan satu hal, mengapa Rama semangat sekali dalam pencarian ini. Apakah karena dia memang ingin sekali menangkap pelaku yang telah membunuh temannya, atau dia ingin menghilangkan satu bukti yang menunjukkan dia pelakunya.
            Selama aku termenung, tiba-tiba aku tidak mendengar suara yang menunjukkan bahwa Rama sedang mencari. Ternyata Rama sedang terdiam di bawah meja yang cukup kecil. “Ma, ngapain kamu di situ ?”. Kelihatannya dia kaget. Dia langsung berdiri dan tersenyum. “Nggak, ko, nggak ada apa-apa. Ya udah, keluar, yu. Aku udah nyari seluruh pelosok kamar ini, nggak ada apa-apa”. “Udah nyari seluruh pelosok kamar ini ? Bukannya baru masuk ke kamar ini 5 menit ya, dia juga belum nyari di kamar mandi. Pasti ada sesuatu yang disembunyikan”, pikirku.
            “Kenapa Azhar ? Jangan bengong, dong. Hayu keluar sekarang”, teriak Rama. “Oh, iya”. Rama langsung berjalan keluar dari kamar. Sekilas aku melihat terdapat tisu dibawahnya, yang sebelumnya belum ada di situ. Aku langsung menghentikan langkahku, berbalik dan membuka tisu tersebut dengan hati-hati. Di balik tisu tersebut terdapat rambut panjang berwarna hitam.
            “Rambut hitam, panjang ? Rambut siapa ya ?”, pikirku. Aku langsung berpikir. Kemungkinan hanya 5 orang yang masuk ke kamar ini. Aku, Putra, Setya, Annisa, dan Rama. Aku dan Putra tidak mungkin pemilik rambut ini, karena rambutku dan Putra tidak panjang. Rambut Setya cukup panjang, namun aku tidak yakin rambut Setya sepanjang ini. Rambut ini memiliki panjang sekitar 15 cm. Aku yakin rambut Setya tidak sepanjang itu.
            Kemungkinannya hanya antara Rama dan Annisa. Mungkin saja ini rambut Annisa, karena ini adalah kamar Annisa. Namun, ada satu hal yang kulupakan dari Annisa. Bahwa, Annisa memiliki rambut coklat. Tidak hitam. Berarti, pemilik rambut ini adalah Rama. Namun, bisa saja rambut Rama terjatuh secara tidak sengaja saat tadi berada di kamar ini. Namun, saat aku melihat lebih dekat lagi rambut tersebut, terdapat noda berwarna merah yang berada di ujung rambut tersebut.
            Aku yakin ini adalah darah Annisa. Aku sangat gembira, akhirnya pelaku pembunuh Annisa sudah ditemukan. Hal yang harus kulakukan sekarang adalah membawa sampel rambut ini ke salah satu polisi yang berada di hotel ini. Aku memasukan sampel tersebut ke dalam plastik bening kecil dan menyimpannya di dalam sakuku. “Aku harus secepatnya membawa ini ke polisi”, pikirku.
            Saat aku berbalik dan berdiri, aku terkejut dengan sesuatu yang berada di hadapanku. Rama sedang menodongkan pisau ke arahku. Aku terdiam, mematung. “Tu..tunggu. Rama, kenapa kamu ?”. “Udah, Azhar langsung aja deh ke inti pembicaraan. Kamu udah tahu kan aku pelakunya ?”. “Tapi, Rama…”. “Udah, Azhar. Gini aja. Kamu serahin rambut itu, aku bakalan biarin kamu hidup, kalau nggak, kamu bakalan mati, di sini juga”. “Rama, buat apa sih  kamu bunuh Annisa ?”
            “Emangnya penting ya kamu tahu ?”. “Iya Rama, soalnya kan Annisa sahabat kamu”. “Sahabat ? Hahaha, kamu benar, aku itu emang sahabatnya Annisa. Annisa itu satu-satunya temen yang aku punya sampai sekarang. Annisa adalah satu-satunya orang yang mau jadi temen aku sejak aku pindah dari sekolah yang lama. Semenjak aku pindah, nggak ada yang mau jadi temen aku, tapi cuma Annisa yang mau jadi temen aku”.
            Aku hanya terdiam, aku takut, mungkin Rama mengalami gangguan jiwa, mungkin itulah penyebab dia dipindahkan dari sekolahnya yang lama. “Aku ngebunuh Annisa, biar nggak ada yang bisa ngerebut dia dari aku, sekarang Annisa sepenuhnya udah milik aku, nggak ada lagi yang bisa ngehalangin aku sama dia, tapi sayangnya kamu udah tahu apa yang aku udah lakuin, jadi sekarang kamu harus dapet balasannya”.
            Rama mengayunkan pisaunya ke arahku. Aku sangat takut. Untunglah, aku berhasil menghindar dan aku langsung berlari ke luar. Aku harus menyelematkan diriku. Rama mengejarku. Saat aku keluar kamar, aku langsung berlari menuju tangga darurat, karena lift akan memakan waktu yang lama untuk menuju lantai bawah. Aku bingung mengapa hotel ini tidak ada polisi. Padahal tadi banyak sekali polisi di bawah, mengapa di atas tidak ada polisi sama sekali.
            Aku berlari melewati tangga yang cukup banyak, menuju lantai bawah. Untunglah Rama memakai rok, sehingga dia agak kesulitan berlari di tangga. Dalam waktu sekitar 15 menit, aku sudah sampai di lantai 1. Aku bingung mengapa lobby hotel ini sangat gelap. Saat aku melihat jam tangan, ternyata sekarang sudah jam 1 pagi. Aku lupa, hotel ini tidak buka 24 jam, terlebih sekarang hotel ini kosong karena baru terjadi pembunuhan. Aku terjebak di sini bersama Rama.
            Di luar hotel terlihat sangat sepi, kelihatannya semua polisi sudah pulang. “Kenapa mereka nggak jaga-jaga di sini, bisi ada apa-apa, mereka kenapa sih”, pikirku sambil menangis. Tiba-tiba terdengat suara langkah kaki yang cukup cepat dari arah pintu tangga darurat. Itu pasti Rama. Aku bingung, kemana aku harus pergi. Tiba-tiba aku teringat, di hotel ini masih ada jalan lain untuk keluar. Pintu menuju lapangan parkir di belakang hotel.
            Tiba-tiba terdengar suara pintu terbuka dengan sangat keras. Saat aku melirik ke belakang, ternyata Rama sudah sampai di lobby. Dia langsung berlari ke arahku, secara spontan aku langsung berlari, menuju pintu yang berada di belakang hotel ini. Aku berharap pintu tersebut terbuka. Di dalam hotel yang sangat gelap dan mencekam ini, aku dikejar oleh seorang pembunuh berdarah dingin yang memiliki gangguan jiwa. Aku sangat takut.
            Saat sampai di bagian belakang hotel, aku menemukan pintu tersebut. Aku langsung mendorong pintu tersebut dengan sangat keras dan untunglah terbuka. Aku langsung berlari ke luar hotel. Ternyata di luar hotel sudah malam, wajar karena sekarang sudha jam 1 pagi. Kini suasana kota sangat dingin dan sepi. Kini aku sudah bukan dikejar lagi di sebuah hotel yang gelap dan mencekam, namun dikejar di sebuah kota yang dingin dan sepi oleh seorang pembunuh berdarah dingin yang memiliki gangguan jiwa,
            Aku semakin takut. Sesampainya di tempat parkir hotel ini, aku langsung berlari ke luar hotel dan berlari menuju hotel tempat aku dan Putra menginap. Aku melihat ke belakang, ternyata Rama tidak terlalu jauh dariku. Aku tetap berlari. Tiba-tiba aku teringat sesuatu, aku selama ini membawa ponsel. “Bodoh, kenapa nggak dari tadi”, pikirku. Aku langsung menelpon Putra. Tidak ada suara apapun di sana, panggilanku tidak dijawab oleh Putra. “Putra, kamu kemana sih”, pikirku.
            Aku langsung membanting ponselku, kesal, kenapa Putra  tidak menjawab panggilanku. Kini aku berlari di sebuah trotoar yang cukup kecil menyusuri sebuah jalan yang sangat sepi dan penerangan yang sangat sedikit. Aku bingung, aku merasa aku tidak melewati jalan ini saat aku pergi bersama Putra dari hotel tempat kami menginap. Aku baru sadar, bahwa aku salah mengambil jalan. “Bodoh, bodoh, bodoh”, kata itu yang aku ucapkan berulang-ulang.
            Setelah aku berlari sekitar 15 menit menyusuri jalan ini, aku menemukan lorong kecil di sebelah kiri. “Mungkin aku bisa memotong jalan dan berputar”, pikirku. Aku langsung masuk ke lorong tersebut. Ternyata lorong ini sangat gelap dan dikelilingi oleh dinding besar berwarna hitam di sisi kiri dan kanan, tidak ada penchayaan dimanapun. Aku berharap lorong ini membawaku ke sebuah cahaya, cahaya kebebesan, dari ketakutanku ini, di ujung sana.
***
Sakit. Kepalaku sangat sakit. Aku tidak tahu dimana aku sekarang. Aku tidak tahu apa yang baru saja aku lakukan. Aku tidak bisa mengingat semuanya. Dimana aku sekarang, mengapa aku disini, apa saja yang sudah kulakukan. Sekelilingku sangat gelap. “Apakah aku sudah mati”, pikirku. Aku perlahan berusaha untuk membuka mataku. Beberapa cahaya masuk ke mataku, sehingga aku dengan samar-samar bisa melihat di sekelilingku. “Ternyata aku belum mati, untunglah”.
Aku masih belum bisa melihat dengan jelas apa yang berada di seklilingku. Secara samar-samar aku melihat 2 orang yang cukup tinggi. 2 orang laki-laki yang sepertinya sedang memegang ponsel. “Di sini telah terjadi pembunuhan”. Pembunuhan ? Apa maksudnya ? “Yap, seorang perempuan telah terbunuh, pembunuhnya kini masih pingsan, cepatlah ke sini, sebelum pembunuh tersebut bangun”. Seorang perempuan telah terbunuh ? Aku tidak mengerti apa yang mereka bicarakan.
Aku berusaha bangun untuk mendapat berbagai macam penjelasan. Aku tertatih-tatih, berusaha sekeras mungkin untuk duduk. Saat aku akhirnya bisa bangun dan duduk, kepalaku tersasa sangat sakit. Aku memegang kepalaku dengan tangan kananku. Saat aku memegangnya, terasa ada sebuah cairan yang berada di kepalaku. Aku langsung melihatnya. Ternyata itu adalah darah.
Aku sangat bingung, sebenarnya apa yang telah terjadi padaku. Aku melihat sekujur badanku, tangan, kaki, baju, dan celanaku, dipenuhi oleh darah yang cukup banyak. Aku melihat tangan kiriku, ternyata aku memegang sebuah pisau. Pisau kecil berlumuran darah. Aku sangat bingung, aku tidak tahu apa yang telah terjadi padaku. Aku sungguh sangat bingung, aku berusaha untuk mengingatnya, namun tidak bisa.

Lalu, aku melihat apa yang ada di depanku. Di depanku terdapat sebuah mayat. Mayat seorang perempuan yang memakai kacamata, kerudung berwarna putih, dan rok berwarna hitam. Mayat tersebut tergenang di atas genangan darah yang kelihatannya mengucur dari arah perutnya. Ternyata mayat tersebut membawa sebuah tas, tas kecil berwarna coklat. Di tas tersebut tergantung sebuah kartu nama, yang kini dipenuhi oleh percikan darah, namun aku msaih bisa melihat dengan jelas tulisan yang berada di kartu nama tersebut. Tulisan tersebut adalah Rama. 

No comments:

Post a Comment